Dienstag, 17. November 2009

mas... eh kak...

[...] jenjang struktur penyambung antar generasi akan hilang, maka setiap individu akan merasa sepantar tidak ada lagi golongan yang harus dihormati atau golongan yang harus diasuh. Dalam kasus yang terparah semua golongan akan saling menganggap sebagai saingan, sebagai contoh munculnya paham-paham antisenioritas dan pelecehan prestasi generasi muda. Orang-orang muda yang terjangkit paham seperti ini hanya akan mengingat kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan generasi tua dan digunakan sebagai antidote untuk menjatuhkan balik. [...]
Entah berapa lagi ragam kata —terutama dalam dialek/ bahasa daerah negeri ini— yang digunakan sebagai panggilan terhadap orang yang dituakan atau orang yang dihormati. Ini adalah salah satu cerminan budaya visual masyarakat timur untuk mengungkapkan kedudukan seseorang yang lebih tua, seumur atau lebih muda dalam susunan masyarakat dan lingkungan. Fungsi kata sandang panggilan tersebut utamanya mempunyai makna sebagai panduan bagi individu anggota masyarakat dalam hubungannya dengan eksistensi, identitas, bersikap-berperilaku di antara sesama, dan yang sangat penting yaitu fenomena budaya “belajar”. Suatu proses yang dikodratkan bagi manusia agar dapat disebut homosapiens dan mahluk yang bertahan hidup dengan mengembangkan dan mewariskan kebudayaan.

Budaya bagi manusia berfungsi sebagai sistem bertahan hidup hasil dari proses belajar, maka setiap budaya masyarakat manapun pendukungnya dapat hidup di lingkungan tempat mereka tinggal. Seperti telah disinggung di atas, dalam proses pewarisan budaya tentu akan terjadi proses belajar-mengajar dan akan ada guru ada murid, ada yang dituakan dan dimudakan. Pada proses ini dalam masyarakat cenderung akan terkristal ke dalam dua jenjang utama yaitu jenjang generasi tua (baik berdasarkan umur maupun pengalaman) dan generasi muda. Penentuan kedudukannya dibantu dengan ungkapan kata sandang panggilan di depan nama seperti; dek Hadi, nak Johan, pak Hamid, bu Endah dll., —di beberapa sistem kekeluargaan masyarakat timur jauh seperi Cina, Korea dan Jepang peletakannya di belakang nama seperti; Hwang laose, Asada sensei, Jeun si dll.— sebagai catatan tambahan, sistem penamaan/ kata sandang panggilan untuk mengidentifikasi kedudukan seseorang dalam susunan keluarga masyarakat Cina (di perantauan sekalipun) adalah salah satu yang terlengkap dan sekaligus terkompleks, dan dari budaya ini dapat dilihat bukti, bahwa kekhasannya kuat bertahan berabad-abad dan turun-temurun sekalipun pendukungnya sudah tidak tinggal di Cina daratan.

Pengungkapan posisi dalam keluarga atau masyarakat ini prakteknya akan terasa hanya lebih meninggikan kaum yang dituakan, tapi itu hanya kesan cakupan mikro, kalau naik sedikit dan mendapat sudut yang lebih makro dan menyeluruh, maka ungkapan panggilan ini esensinya adalah suatu mekanisme sosial berbentuk himbauan bagi setiap anggota masyarakat agar sedapat mungkin berfungsi pada posisinya masing-masing. Yang dituakan harus dapat memberikan pengajaran ataupun teladan bagi generasi di bawahnya bagaimanapun bentuknya, dan darinya generasi muda dapat mengambil hikmah atau wisdom yang tersirat untuk dijadikan jiwa di hati. Alih pengetahuan ini tidak lain adalah apa yang dinamakan proses pewarisan budaya, peristiwa ini hanya dapat berjalan lancar, bila generasi terdahulu diangkat sebagai guru dan pelajaran darinya dijadikan roh dan semangat bagi generasi berikutnya, bila tidak, jenjang struktur penyambung antar generasi akan hilang, maka setiap individu akan merasa sepantar tidak ada lagi golongan yang harus dihormati atau golongan yang harus diasuh. Dalam kasus yang terparah semua golongan akan saling menganggap sebagai saingan, sebagai contoh munculnya paham-paham antisenioritas dan pelecehan prestasi generasi muda. Orang-orang muda yang terjangkit paham seperti ini hanya akan mengingat kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan generasi tua dan digunakan sebagai antidote untuk menjatuhkan balik. Dengan reaksi kira-kira begini;

Ah, kenapa kita harus mendengarkan orang seperti dia/ mereka, saya tahu rahasia (buruk) orang itu”, atau “Tidak perlu bersikap serius dengan dia/ mereka ”.

Kekeliruannya adalah fatal, bahwa orang sejak awal orang hanya akan terbiasa untuk menyerap dan mempelajari informasi-informasi buruk dan jelas akan diaplikasikan pada aksi-aksi buruk pula, peristiwa ini kerap terjadi pada usia potensial untuk belajar dengan kemampuan menyerap yang sangat tinggi. Pada usia ini mental dasar manusia mulai membentuk kesejatiannya yang akan menjadi dasar utama berpikir dan bersikap pada usia-usia selanjutnya, dan mentalitas pada tahap ini sudah mulai sulit dirubah. Dalam iklim demokratis modern (kebarat-baratan) seperti saat sekarang keadaan di atas kerap terjadi, —benar-benar merugi— golongan muda tidak dapat menyerap apa-apa selain keburukan dari pengalaman dan prestasi generasi di atasnya sedekat apapun mereka. Di lain pihak, golongan tua —biasanya sudah menempati posisi yang menentukan dalam masyarakat— yang lupa bahwa mereka dituakan untuk menunjukan kearifan akan menggunakan kekuasaannya untuk menghadang prestasi-prestasi generasi di bawahnya untuk maju dengan memberi segel orang-orang muda itu menggunakan istilah seperti ‘sombong’ atau ‘berlebihan’, sekaligus menjadi endorsement, bahwa mereka 100% halal untuk dijegal dan dibungkam dengan cara apapun agar tidak muncul bersama kemampuannya di masyarakat dan kasus (maaf) pelanggaran HAM berat ini sudah layak dapat legitimasi untuk disebut pembunuhan karakter —hanya berbeda SEDIKIT dengan dengan genocide/ pembantaian ras—, lebih kejamnya lagi korban pembunuhan karakter dibiarkan tetap hidup tanpa jiwa di dalam diri mereka. Impact tragedi ini adalah hilangnya (sedikit atau banyak) kemungkinan gemilangnya masa depan individu dan atau suatu kelompok bangsa manusia yang bertumpu di atas kecerdasan generasi selanjutnya.

Sedikit keluar dari wacana sebagai perbandingan. Di atas disebutkan dalam kurung istilah kebarat-baratan. Dalam masyarakat barat dengan nota bene berbudaya dengan pola konsep, ungkapan panggilan terbatas hanya pada lingkungan formal. Antara anak dengan orang tua sering didapati memanggil langsung dengan nama, dalam kasus ini azasnya adalah kekeluargaan. Idealnya tentu akan muncul pertanyaan, bagaimana sistem dan proses pewarisan budaya terjadi? Maka murah saja jawabnya, bahwa masyarakat barat tidak memvisualkan jenjang hierarki itu dengan ucapan. Mereka sudah cukup berkonsep dalam pola pikir, bahwa orang yang lebih tua itu dihormati dengan sikap meskipun tidak saling memanggil dengan ungkapan panggilan di depan nama.

Iklim seperti inilah yang sangat populer ingin dicopy oleh golongan muda begitu saja mentah-mentah tanpa anti-these sama sekali. Untuk sebagian golongan muda kita yang mempunyai kesulitan menemukan ketajaman titik fokus siapa dirinya, gaya hidup demikian akan terasa menyenangkan, mereka akan merasa telah sanggup memutuskan rantai-rantai feodalisme, mereka akan merasa menjadi tuan bagi diri sendiri dan merasa dapat promosi derajat terhitung sebagai tuan di lingkungannya, karena merasa sepantar dengan orang-orang yang (memang seharusnya) dituakan. Tapi berikutnya mereka melupakan bagian penting dalam pen-copy­-an kebarat-baratan tadi yaitu, bahwa mereka seharusnya berkonsep; tetap berkarya pada kedudukan sebagai orang sedang belajar dengan menghormati dalam sikap. Wabah ini menjangkiti dan merusak kualitas diri manusia ketimuran kita, akan banyak muncul manusia-manusia secara fisik nampak Indonesia, secara sikap dan pola pikir barat di satu sisi, tapi tidak dapat berkualitas maksimal atau bahkan tidak dapat mencapai kemampuan rata-rata dalam bidang apapun, baik dipandang secara manusia timur maupun barat. Gejalanya orang hanya akan mampu membeo terus-terusan, mengulang-ulang kata-kata orang lain tanpa bisa berkembang sendiri lebih dari itu, penghargaan luarbiasa untuk mereka hanya akan disematkan untuk tampilanluarnya saja. Energi mereka disalurkan tak lebih untuk jadi penonton yang bersorak "hebat... hebat...!!", atau paling top hanya sampai jadi pemulung sisa-sisa keberhasilan orang lain.

Himbauan Pergunakanlah masa mudamu sebaik-baiknya sekitar 10-15 tahun yang lalu cukup sering akrab di telinga, karena saat masih berseragam putih-merah/ putih-biru —bagi yang masih mengalami pendidikan dasar atau menengah dasar di masa ORBA— sering diucapkan oleh ibu/ bapak Kepala Sekolah atau Guru sebagai pembina upacara pada sesi wejangan upacara bendera setiap hari senin jam 07.30 pagi. Kini sebaiknya himbauan di atas dapat ditafsirkan lebih aplikatif lagi kira-kira Gunakanlah waktu dengan sebaik-baiknya, karena dia tidak datang dua kali. Himbauan tersebut ditujukan bagi setiap kalangan tanpa kecuali, untuk terus belajar dan berkembang sepenuhnya (bagi generasi muda) agar dapat menjadi guru bangsa atau panutan, tolok ukur kesejatian penerus dan negerinya di masa yang akan datang (bagi generasi tua). Dan kesempatannya cuma datang satu kali, tanpa bisa diulang. Kalaupun ada sikap minor terhadap struktur budaya berjenjang —termasuk di dalamnya antisenioritas—, maka cobalah bergeser sedikit lebih ke arah sudut pandang rasional, bahwa pada setiap masyarakat berbudaya —baik berazaskan konsep sekalipun— memiliki jenjang yang paling sederhana antara “yang lebih tahu – yang diberitahu”, hal sederhana dan sulit dihindari —kalau tidak boleh disebut tidak dapat dihindari—, sesederhana kasus seorang pemangkas rambut memerlukan pemangkas lain untuk mencukur rambutnya hanya karena sudut pandang sendiri tidak dapat mencakupi seluruh bagian kepalanya. Juga perlu diingat kembali, bahwa semua bangsa Asia maju adalah bangsa dan negeri yang kukuh berpijak pada budaya asli mereka turun-temurun, dan kehidupan berbudaya negeri ini diwariskan dengan jenjang berazas visual sebagaimana aplikasi budaya ungkapan panggilan di depan nama seperti kak, mbak, bang, dek..., untuk menghormati orang, ya nggak kang..?!

Jakarta, 05.06.2008